Sekarang, Saatnya Mengubah Dunia!

>>>>>> <<<<<< ****** Tidak Ada Yang Gratis DI Dunia, TEBUSANNYA ADALAH PENGORBANAN, KESUNGGUHAN, DAN YANG UTAMA IMAN

BAYANGAN Bermata MERAH

Senin, 27 Februari 20120 komentar

Bayangan bermata merah
Bayangan bermata merah itu muncul kembali! Aku kembali tersentak. Di antara baranya siang yang membakar, di gumulan angin panas fast blow, sorot mata merah itu kembali membara dari bayangan yang mencabik-cabik ketenangan kampungku.

Sani yang memberitahuku. Dia anak supranatural, pikiranku menggelitik. Ya, namanya Sani. Seluruh penduduk kampung hanya akulah yang tahu power apa yang dimiliki anak berusia tiga belas tahun itu. Dia anak yang sedikit aneh karena jarang mau atau tidak pernah bermain dengan anak-anak seusianya. Melainkan, sering menyendiri di bawah pohon jambu di dekat rawa Barung.

Aku mengenal istilah bayangan berwarna merah juga darinya. Awalnya aku tidak percaya, bagaimana mungkin bayangan manusia memiliki mata yang menyala, merah pula? Tapi, Sani meyakinkanku.
Saat itu, aku tengah menyabit rumput di rawa Barung. Saat aku melihat Sani yang duduk di atas pohon, matanya tak silau menatap matahari padahal mataku sangat silau melihatnya sekali saja. Fatmi yang baru melahirkan tiba-tiba melewati kami dan berjalan si atas jembatan tergesa-gesa. Saat itulah Sani bergumam agak keras.

“Bayangan bermata merah keluar lagi. Musibah akan datang!” matanya mengikuti arah hilangnya Fatmi. Aku keheranan.
“Apa maksudmu San?”
Dia tersenyum, “Crime, Crime! Terjadilah!”
Aku kebingungan, tapi segera menepisnya. Dasar bocah! Aku meneruskan mengayuh sabit, menghancurkan potongan-potongan rumput, menggilas kesombongan yang mengakar.

“Tok…, tok…, tok…,” suara kentongan bertalu-talu memekakkan telinga seumpama genderang perang setelah obrolanku dengan Sani. Orang-orang berlarian geger. Aku telah selesai dan pulang untuk ikut melihat apa yang terjadi.

Aku kaget! Bagai petir yang terputus dari halilintar. Terjadi pembunuhan di kampungku. Dan pembunuhnya adalah Fatmi, dia membunuh suami dan anaknya dengan racun tikus yang dicampur ke dalam makanan. Fatmi tertawa-tawa seperti orang gila, dia diarak ke rumah Lurah. Aku berlari kembali ke rawa Barung, nafasku naik turun. Kulihat Sani masih melihat matahari yang menyala. Anak itu tetap tenang.

“Kau benar! Bayangan bermata merah telah melakukan aksinya.”

Mulai saat itu, aku mengerti istilah baru. Bayangan bermata merah. Aku sudah menggagalkan dua perbuatan dari kata-kata Sani, pertama saat dua orang pemuda dan pemudi di tengah lading yang kata Sani bayangan mereka berdua bermata merah. Lalu, yang satunya adalah bayangan Darman yang akan memerkosa anaknya sendiri. Aku menghentikannya atas informasi Sani.

Saat kutanyakan pada Sani yang mungkin hanya akrab denganku saja tentang perihal kemampuannya. Dia menjawab tenang sambil menatapku, “Aku melihat bayangan bermata merah itu semenjak aku dan keluargaku terperangkap di dalam kobaran api.”

Aku baru teringat. Empat tahun yang lalu, Sani dan keluarganya terkurung dalam fire cinder, hanya Sani yang selamat. Orangtua dan kakaknya meninggal terbakar hangus. Ada orang yang membakar rumah mereka. Mungkin, kemampuannya dimiliki oleh orang-orang yang selamat dari kematian atau pernah mengalami kematian atau melihat kematian? Entahlah! Aku tak ambil pusing. Yang jelas, aku tahu siapa orang yang hendak berbuat jahat. Saat bayangannya bermata merah.

Sekarang. Sani memberitahuku kembali, Bayangan bermata merah muncul kembali. Aku tersentak! Karena bayangan itu dari Marni isteriku. Sani memberitahuku sewaktu isteriku menemuiku saat mencari rumput, memberitahuku kalau ada Bapakku datang. Sani tersenyum sinis sambil menatapku acuh.
Aku pulang segera. Aku sangat terpukul. Aku telah percaya total pada Sani. Jadi, isteriku hendak melakukan apa yang dikatakan Sani sebagai crime? Bayangan mata merah kembali beraksi? Tapi kenapa isteriku?

Langkahku agak ragu untuk melangkah pulang. Rumput dalam kantong di pundakku terasa tak berat dan tak terasa karena pikiranku terus melayang. Memang, isteriku kemarin uring-uringan karena minta kalung emas. Aku tak punya uang, lalu…, isteriku membentakku. Apakah mungkin dia berniat jahat padaku? Tapi, bayangan bermata merah itu kembali menyala! Tapi, aku terlalu sayang pada isteriku.

Aku sampai di rumah dan menaruh kantong rumput di dekat kandang sapi. Pikiranku masih kalut dan memaku semua imajinasi. Keadaan ini sangat membingungkanku. Apakah isteriku tega melakukan kejahatan padaku? Jika iya, aku harus siap menghentikannya.

Aku mengucapkan salam dari pintu depan. Bapak telah duduk di ruang tamu dan menyambutku hangat. Aku duduk di sebelahnya dan melepas topi lusuhku. Isteriku tiba-tiba keluar dan menyuguhkan dua teh serta satu piring singkong goreng. Senyumnya simpul menatapku dan Bapak, dia berbalik ke belakang. Aku terus menatap arah perginya Marni, aku berada pada keadaan yang aneh. Siapa yang harus aku percayai?

“Kau kenapa Ngger?”
Bapak mengagetkanku. Aku tergagap dari lamunan.
“Mboten nopo-nopo Pak!” aku menggidikkan kepalaku.
Bapak tersenyum sambil mengangkat gelas tehnya. Kepalanya menggeleng-geleng.
“Tunggu Pak! Jangan diminum dulu,” aku memegang pergelangan tangan Bapak, tanganku mencekal terlalu kuat, air itu tumpah mungkin seperempat.
“Kamu kenapa Wan?”
“Maaf Pak, aku hanya sedikit kaget saja.”

Marni muncul dan kusuruh mengambil kain. Dia keluar lagi membawa kain, dia tetap tenang dan tersenyum. Aku mengelap baju Bapak yang terkena tumpahan dan mengelap meja sekalian. Aku benar-benar gila harus memercayai anak gila itu! Aku merutuki diri sendiri dalam hati.
“Kamu gak suka Bapak kesini Nger? Bapak menatapku, tanganku masih mengelap meja walaupun air teh sudah kering sebenarnya.

“Tidak Pak! Wawan seneng Bapak datang, tadi Wawan tidak sengaja.”
Marni keluar lagi membawa satu gelas teh baru. Bapak kembali mengangkat teh yang baru dan menyeruputnya pelan. Isteriku menunggui kami. Nafasku turun naik, aku benar-benar ketakutan jika teh itu ditaburi racun. Aku tak berani berkutik saat Bapak kembali mengambil singkong goreng di piring dan kembali menyeruput tehnya, berulang beberapa kali dan aku hanya terdiam memerhatikan. Dadaku seolah berayun-ayun kencang.

Isteriku menemani kami duduk, dia juga mengambil satu singkong goreng dan memakannya. Senyumnya tulus. Marni dan Bapak mengobrol banyak dan seolah aku bagai seorang pemegang kamera, Marni sebagai wartawati dan Bapak sebagai orang yang sedang diwawancarai. Aku masih binggung, aku menggelengkan kepalaku, seolah ada air yang menyumbat di telinga dan isi kepalaku. Huuh!
Sepuluh menit berlalu, dadaku semakin berdegup kencang. Ingin membuktikan tapi tak ingin terjadi. Pikiranku tiba-tiba sangat kacau, antara kepercayaan dan ketidakpercayaan. Semuanya memuncak, aku berdiri keras.
Aku mengambil gelasku dan menenggak teh langsung habis, sudah tidak panas setidaknya sedikit mengobati pening yang menusuk-nusuk.

“Mau kemana Mas?” Marni bertanya heran.
“Mau keluar sebentar,” Marni tersenyum dan membiarkanku pergi. Akan kuhajar bocah itu, berani-beraninya mempermainkanku! Isteriku tak mungkin melakukannya. Anak itu harus diberi pelajaran! Bayangan bermata merah! Aku tak peduli lagi.

Aku mengambil gagang sapu yang sabutnya telah lepas. Kugebuk-gebukkan di telapak tangan kiriku. Ini  cukup mantap untuk sedikit memberi pelajaran pada Sani. Aku terburu-buru menuju pohon jambu. Dia masih duduk sambil mengunyah daun jambu.
Aku berhenti di bawahnya, “Turun San, aku ingin bicara! Jika tidak akan kulempar kau dengan batu!”
Sani menatapku, “Bayangan bermata merah muncul padamu! Kau akan melakukan Crime!” dia berteriak.
Aku tak suka diejek. Kuambil batu sebesar kepalan tangan. Saat akan kulempar dia menghiba dan turun, aku menunggunya di bawah. Sedikit pelajaran akan membuatnya jera.

Saat kakinya menyentuh tanah, tiba-tiba bumi terasa bergoncang. Mataku pening, bumi bergetar saat kedua kaki Sani menyentuh tanah. Mataku bergoyang-goyang, kepalaku kegeleng-gelengkan tapi berat.
“Kau memiliki bayangan bermata merah sekarang!” ucapannya seakan menghunjam-hunjam kepalaku.
Aku mengangkat gagang sapu itu keatas, kukuatkan diriku untuk memukulnya. Sangat berat, aku terjatuh di hadapannya. Tiba-tiba kentongan bertalu-talu dari seluruh penjuru, “Ada pembunuhan! Ada pembunuhan!” kentongan semakin bertambah membahana. Aku tak kuasa mengangkat badanku, apakah Marni benar-benar melakukan crime?

Sani mendekatiku. Dan…, aku melihat bayangannya! Bayangannya bermata merah menyala seperti bola merah pekat membara. Aku tak kuasa bergerak lagi.

“Bayangan mata merah muncul kembali,” Sani mengeluarkan pisau kecil dari pinggangnya. Mengkilat di timpa pantulan matahari di petala langit.
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. (Muhammad) Badarudin - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger